Selasa, 14 Februari 2012

ANAK KEPADA ABDUL ‘AZIZ BIN BAZ MENOLAK FATWA-FATWA AYAHNYA












Ahmad bin Abdul Aziz Bin Baz menolak fatwa-fatwa yang dikeluarkan oleh bapanya iaitu Abdul Aziz Bin Baz yang merupakan tokoh besar agama Wahhabi. Apabila anaknya menyedari terdapat banyak pandangan yang pelampau dan radikal terbit dari ramai pendakyah Wahhabi di negara Saudi Arabia beliau (Ahmad) telah mengisytiharkan agar fahaman itu perlu dihapuskan (Rujuk Al-Awsat 2004) dan kini pula anak kepada tokoh ajaran Wahhabi ini menolak fatwa-fatwa yang terbit dari ayahnya Abdul Aziz Bin Baz.

http://www.okhdood.com/?act=artc&id=2724
Read more......

WAHABI SALAFI ( SALAH FIKIR ) selalu membawa ayat di bawah ini

ﺍﻟﻴﻮﻡ ﺃﻛﻤﻠﺖ ﻟﻜﻢ ﺩﻳﻨﻜﻢ ﻭﺃﺗﻤﻤﺖ
ﻋﻠﻴﻜﻢ ﻧﻌﻤﺘﻲ ﻭﺭﺿﻴﺖ ﻟﻜﻢ
ﺍﻹﺳﻼﻡ ﺩﻳﻨﺎ

Dengan pemikiran mereka
yang salah karena mereka SALAFI
( SALAH FIKIR ) lalu mereka
berkata bahwa
maulidan, tahlilan, yasinan itu
sesat, karna terrmsuk bid'ah, karena
agama ini sdh sempurna,

Karena itu mari kita bahas dgn
ilmiah ayat di atas, silahkan
simak
1. Imu nahwu
ﺍﻟﻴﻮﻡ ﺍﻷﻟﻒ ﻭﺍﻟﻼﻡ ﻓﻴﻪ ﻟﻠﻌﻬﺪ
ﺍﻟﺤﻀﻮﺭ ﻋﻨﺪ ﻧﺰﻭﻝ ﺍﻵﻳﺔ ﻭﻫﻮ ﻇﺮﻑ
ﺯﻣﺎﻥ ﻣﻨﺼﻮﺏ ﻣﺘﻌﻠﻖ ﺑﺄﻛﻤﻠﺖ
ﻭﺃﺗﻤﻤﺖ
ﺃﻛﻤﻠﺖ ﻓﻌﻞ ﻣﺎﺽ ﻣﺒﻨﻲ ﻋﻠﻰ ﺍﻟﻔﺘﺢ
ﺍﻟﻤﻘﺪﺭ ﻻﺷﺘﻐﺎﻝ ﺍﻟﻤﺤﻞ ﺑﺴﺒﺐ
ﺍﺗﺼﺎﻟﻪ ﺑﻀﻤﻴﺮ ﺍﻟﺮﻓﻊ "ﺕ "
ﺃﻭ ﻣﺒﻨﻲ ﻋﻠﻰ ﺍﻟﺴﻜﻮﻥ ﻟﺘﻼﻣﻴﺬ
ﺍﻟﻤﺒﺘﺪﺇ
ﺕ ﺍﺳﻢ ﺿﻤﻴﺮ ﻣﺘﺼﻞ ﻣﺒﻨﻲ ﻋﻠﻰ
ﺍﻟﻀﻢ ﻓﻲ ﻣﺤﻞ ﺭﻓﻊ ﻓﺎﻋﻞ
ﻝ ﺣﺮﻑ ﺟﺮ ﻣﺘﻌﻠﻖ ﺑﺄﻛﻤﻠﺖ
ﻛﻢ ﺍﺳﻢ ﺿﻤﻴﺮ ﻣﺘﺼﻞ ﻣﺒﻨﻲ ﻋﻠﻰ
ﺍﻟﻀﻤﺔ ﻓﻲ ﻣﺤﻞ ﺧﻔﺾ ﻣﺠﺮﻭﺭ ﺏ
"ﻝ "
ﻭﺍﻟﻤﻴﻢ ﻋﻼﻣﺔ ﺍﻟﺠﻤﻊ
ﺩﻳﻦ ﻣﻔﻌﻮﻝ ﺑﻪ ﻭﻫﻮ ﻣﻨﺼﻮﺏ
ﻛﻢ ﺍﺳﻢ ﺿﻤﻴﺮ ﻣﺘﺼﻞ ﻣﺒﻨﻲ ﻋﻠﻰ
ﺍﻟﻀﻤﺔ ﻓﻲ ﻣﺤﻞ ﺧﻔﺾ ﻣﻀﺎﻑ
ﺇﻟﻴﻪ
ﻭﺍﻟﻤﻴﻢ ﻋﻼﻣﺔ ﺍﻟﺠﻤﻊ
ﻭ ﺣﺮﻑ ﻋﻄﻒ
ﺃﺗﻤﻤﺖ ﻓﻌﻞ ﻣﺎﺽ ﻣﺒﻨﻲ ﻋﻠﻰ ﺍﻟﻔﺘﺢ
ﺍﻟﻤﻘﺪﺭ ﻻﺷﺘﻐﺎﻝ ﺍﻟﻤﺤﻞ ﺑﺴﺒﺐ
ﺍﺗﺼﺎﻟﻪ ﺑﻀﻤﻴﺮ ﺍﻟﺮﻓﻊ "ﺕ "
ﺃﻭ ﻣﺒﻨﻲ ﻋﻠﻰ ﺍﻟﺴﻜﻮﻥ ﻟﺘﻼﻣﻴﺬ
ﺍﻟﻤﺒﺘﺪﺇ
ﻣﻌﻄﻮﻑ ﻋﻠﻰ ﺃﻛﻤﻠﺖ
ﺕ ﺍﺳﻢ ﺿﻤﻴﺮ ﻣﺘﺼﻞ ﻣﺒﻨﻲ ﻋﻠﻰ
ﺍﻟﻀﻢ ﻓﻲ ﻣﺤﻞ ﺭﻓﻊ ﻓﺎﻋﻞ
ﻋﻠﻰ ﺣﺮﻑ ﺟﺮ ﻣﺘﻌﻠﻖ ﺑﺄﺗﻤﻤﺖ
ﻛﻢ ﺍﺳﻢ ﺿﻤﻴﺮ ﻣﺘﺼﻞ ﻣﺒﻨﻲ ﻋﻠﻰ
ﺍﻟﻀﻤﺔ ﻓﻲ ﻣﺤﻞ ﺧﻔﺾ ﻣﻀﺎﻑ
ﺇﻟﻴﻪ
ﻭﺍﻟﻤﻴﻢ ﻋﻼﻣﺔ ﺍﻟﺠﻤﻊ
ﻧﻌﻤﺘﻲ ﻣﻔﻌﻮﻝ ﺑﻪ ﻭﻫﻮ ﻣﻨﺼﻮﺏ
ﻭﻋﻼﻣﺔ ﻧﺼﺒﻪ ﻓﺘﺤﺔ ﻣﻘﺪﺭﺓ ﻋﻠﻰ ﻣﺎ
ﻗﺒﻞ ﻳﺎﺀ ﺍﻟﻤﺘﻜﻠﻢ
ﻳﺎ ﺍﻟﻤﺘﻜﻠﻢ ﺍﺳﻢ ﺿﻤﻴﺮ ﻣﺘﺼﻞ ﻣﺒﻨﻲ
ﻋﻠﻰ ﺍﻟﺴﻜﻮﻥ ﻓﻲ ﻣﺤﻞ ﺧﻔﺾ
ﻣﻀﺎﻑ ﺇﻟﻴﻪ
ﻭ ﺣﺮﻑ ﺍﺳﺘﺌﻨﺎﻑ ﺩﻭﻥ ﻋﻄﻒ
ﺭﺿﻴﺖ ﻓﻌﻞ ﻣﺎﺽ ﻣﺒﻨﻲ ﻋﻠﻰ ﺍﻟﻔﺘﺢ
ﺍﻟﻤﻘﺪﺭ ﻻﺷﺘﻐﺎﻝ ﺍﻟﻤﺤﻞ ﺑﺴﺒﺐ
ﺍﺗﺼﺎﻟﻪ ﺑﻀﻤﻴﺮ ﺍﻟﺮﻓﻊ "ﺕ "
ﺃﻭ ﻣﺒﻨﻲ ﻋﻠﻰ ﺍﻟﺴﻜﻮﻥ ﻟﺘﻼﻣﻴﺬ
ﺍﻟﻤﺒﺘﺪﺇ
ﻝ ﺣﺮﻑ ﺟﺮ ﻣﺘﻌﻠﻖ ﺑﺮﺿﻲ ﺃﻭ
ﻣﺘﻌﻠﻖ ﺑﻤﺤﺬﻭﻑ ﻷﻧﻪ ﺣﺎﻝ ﻣﻦ
ﺍﻹﺳﻼﻡ
ﻛﻢ ﺍﺳﻢ ﺿﻤﻴﺮ ﻣﺘﺼﻞ ﻣﺒﻨﻲ ﻋﻠﻰ
ﺍﻟﻀﻤﺔ ﻓﻲ ﻣﺤﻞ ﺧﻔﺾ ﻣﻀﺎﻑ
ﺇﻟﻴﻪ
ﻭﺍﻟﻤﻴﻢ ﻋﻼﻣﺔ ﺍﻟﺠﻤﻊ
ﻭﺭﺿﻲ ﻭﺟﻬﺎﻥ
ﺍﻷﻭﻝ ﺃﻧﻪ ﻣﺘﻌﺪ ﻟﻮﺍﺣﺪ ﻭﻫﻮ ﺍﻹﺳﻼﻡ
ﻓﺎﻹﺳﻼﻡ ﻣﻔﻌﻮﻝ ﺑﻪ
ﻭﺩﻳﻨﺎ ﺣﺎﻝ
ﻭﺍﻟﺜﺎﻧﻲ ﺃﻧﻪ ﻣﻀﻤﻦ ﻣﻌﻨﻰ ﺻﻴﺮ
ﻭﺟﻌﻞ ﻓﺘﻌﺪﻯ ﻻﺛﻨﻴﻦ ﺃﻭﻟﻬﻤﺎ
ﺍﻹﺳﻼﻡ ﻭﻣﻔﻌﻮﻝ ﺍﻟﺜﺎﻧﻲ ﺩﻳﻨﺎ
ﻭﺇﻋﺮﺍﺏ ﺍﻟﺜﺎﻟﺚ ﺃﻥ ﺩﻳﻨﺎ ﺗﻤﻴﻴﺰ ﻣﺤﻮﻝ
ﻋﻦ ﺍﻟﻤﻔﻌﻮﻝ

2. Ilmu shoraf
ﺃﻛﻤﻠﺖ ﻭﺃﺗﻤﻤﺖ ﻓﻌﻞ ﻣﺎﺽ
ﻟﻠﻤﺘﻜﻠﻢ ﻭﺣﺪﻩ ﻟﻮﺯﻥ ﺃﻓﻌﻞ ﻳﻔﻌﻞ
ﻣﻦ ﺑﺎﺏ ﺍﻹﻓﻌﺎﻝ
ﺭﺿﻴﺖ ﻓﻌﻞ ﻣﺎﺽ ﻟﻠﻤﺘﻜﻠﻢ ﻭﺣﺪﻩ
ﻟﻮﺯﻥ ﻓﻌﻞ ﻳﻔﻌﻞ

3. Ilmu isytiqaq
ﺃﻛﻤﻠﺖ ﻣﻦ ﻛﻤﻞ ﻳﻜﻤﻞ ﻛﻤﺎﻻ ﺛﻢ ﺯﻳﺪ
ﺍﻷﻟﻒ ﺍﻟﻘﻄﻊ ﻓﻲ ﺃﻭﻟﻪ ﻓﺼﺎﺭ ﺃﻛﻤﻠﺖ
ﻓﻲ ﻭﺯﻥ ﺇﻛﻤﺎﻻ
ﺃﺗﻤﻤﺖ ﻣﻦ ﺗﻢ ﻳﺘﻢ ﺗﻤﺎﻣﺎ ﺛﻢ ﺯﻳﺪ
ﺍﻷﻟﻒ ﺍﻟﻘﻄﻊ ﻓﻲ ﺃﻭﻟﻪ ﻓﺼﺎﺭ ﺃﺗﻤﻤﺖ
ﻓﻲ ﻭﺯﻥ ﺇﺗﻤﺎﻣﺎ
ﺭﺿﻴﺖ ﻣﻦ ﺭﺿﻲ ﻳﺮﺿﻰ ﺭﺿﺎ
ﻭﺍﻟﺪﻳﻦ ﻳﻘﺎﻝ ﺩﺍﻥ ﺩﻳﺎﻧﺔ ﺩﻳﻦ
ﻓﺎﻹﺳﻼﻡ ﻣﻦ ﺃﺳﻠﻢ ﻳﺴﻠﻢ ﺇﺳﻼﻣﺎ

4. Ilmu lugah
ﻛﻤﺎﻻ ﻭﺗﻤﺎﻣﺎ ﻟﻬﻤﺎ ﻣﻌﻨﺎﻥ ﻣﺘﺮﺍﺩﻓﺎﻥ
ﺩﻳﻦ ﻟﻐﺔ ﺍﻟﻄﺎﻋﺔ ﻭﺍﻟﻤﻘﺼﻮﺩ ﻓﻲ
ﻫﺬﻩ ﺍﻵﻳﺔ ﺃﺣﻜﺎﻡ ﻭﺷﺮﺍﺋﻊ
ﻧﻌﻤﺔ ﺇﻱ ﺍﻟﻤﻨﺔ ﻭﻣﺎ ﺃﻧﻌﻢ ﺑﻪ ﻋﻠﻴﻚ
ﻭﻗﻴﻞ ﻭﺍﺳﻊ ﺍﻟﻤﺎﻝ ﻭﺍﻟﻤﻘﺼﻮﺩ ﻓﻲ
ﻫﺬﻩ ﺍﻵﻳﺔ ﺍﻟﻤﻨﺔ ﺑﺪﺧﻮﻝ ﻣﻜﺔ ﺁﻣﻨﻴﻦ
ﺍﻹﺳﻼﻡ ﻫﻮ ﺩﻳﻦ

5. Ilmu ma'aani
6. Ilmu bayan
7. Ilmu badii'
ﺃﻛﻤﻠﺖ ﻟﻜﻢ ﺩﻳﻨﻜﻢ ﺃﻱ ﺑﺎﻟﻨﺼﺮ
ﻭﺍﻹﻇﻬﺎﺭ ﻋﻠﻰ ﺍﻷﺩﻳﺎﻥ ﻛﻠﻬﺎ
ﻭﻛﻤﻞ ﻟﻨﺎ ﻣﺎ ﻧﺮﻳﺪ ﺇﺫﺍ ﻛﻔﻮﺍ ﻣﻦ
ﻳﻨﺎﺯﻋﻬﻢ ﻭﻭﺻﻠﻮﺍ ﺇﻟﻰ ﺃﻏﺮﺍﺿﻬﻢ
ﻭﻣﻨﺎﻓﻌﻬﻢ
ﻭﺃﺗﻤﻤﺖ ﻋﻠﻴﻜﻢ ﻧﻌﻤﺘﻲ ﺑﺎﻟﻬﺪﺍﻳﺔ
ﻭﺍﻟﺘﻮﻓﻴﻖ ﻭﺑﻔﺘﺢ ﻣﻜﺔ ﻭﺩﺧﻮﻟﻬﺎ
ﺁﻣﻨﻴﻦ
ﻭﺭﺿﻴﺖ ﻟﻜﻢ ﺍﻹﺳﻼﻡ ﺩﻳﻨﺎ ﺃﻱ ﺍﺧﺘﺮﺗﻪ
ﻟﻜﻢ ﻣﻦ ﺑﻴﻦ ﺍﻷﺩﻳﺎﻥ ﻭﻫﻮ ﺍﻟﺪﻳﻦ ﻋﻦ
ﺍﻟﻠﻪ ﻻ ﻏﻴﺮ
ﻭﻣﻌﻨﻰ ﺃﻛﻤﻠﺖ ﻫﻮ ﺃﺗﻤﻤﺖ ﻭﻣﻌﻨﻰ
ﺃﺗﻤﻤﺖ ﻫﻮ ﺃﻛﻤﻠﺖ ﻓﻬﻤﺎ ﻛﻠﻤﺘﺎﻥ
ﻣﺘﺮﺍﺩﻓﺎﻥ ﺑﻤﻌﻨﻰ ﻭﺍﺣﺪ ﻭﻋﺒﺮ ﺑﻬﻤﺎ
ﻟﺘﺤﺴﻴﻦ ﺍﻟﻌﺒﺎﺭﺓ ﻓﻲ ﺍﻟﻘﺮﺁﻥ
ﻭﺍﻟﻤﻘﺼﻮﺩ ﺑﺎﻹﻛﻤﺎﻝ ﺃﻱ ﺗﺴﺘﻜﻤﻠﻮﻥ
ﺑﻪ ﺇﻟﻰ ﺍﻷﺑﺪ ﺑﺤﻴﺚ ﻣﻦ ﻳﺒﺘﻎ ﻏﻴﺮ
ﺍﻹﺳﻼﻡ ﺩﻳﻨﺎ ﻓﻠﻦ ﻳﻘﺒﻞ ﻣﻨﻪ ﻭﺫﻟﻚ
ﻷﻥ ﺣﻘﻴﻘﺔ ﺍﻟﺪﻳﻦ ﻫﻲ ﺳﻠﻮﻙ ﺳﺒﻴﻞ
ﺍﻟﻠﻪ ﺑﻘﺪﻡ ﺍﻟﺨﺮﻭﺝ ﻣﻦ ﺍﻟﻮﺟﻮﺩ
ﺍﻟﻤﺠﺎﺯﻱ ﻟﻠﻮﺻﻮﻝ ﺇﻟﻰ ﻭﺟﻮﺩ
ﺍﻟﺤﻘﻴﻘﻲ ﻭﺍﻹﻧﺴﺎﻥ ﻣﺨﺼﻮﺹ ﺑﻪ
ﻣﻦ ﺳﺎﺋﺮ ﺍﻟﻤﻮﺟﻮﺩﺍﺕ ﻭﻟﻬﺬﻩ ﺍﻷﻣﺔ
ﺍﺧﺘﺼﺎﺹ ﺑﺎﻟﻜﻤﺎﻟﻴﺔ ﻣﻦ ﺳﺎﺋﺮ ﺍﻷﻣﻢ
ﺃﻥ ﺍﻟﻨﺒﻲ ﺻﻠﻰ ﺣﻴﻦ ﻛﺎﻥ ﺑﻤﻜﺔ ﻟﻢ
ﺗﻜﻦ ﺇﻻ ﻓﺮﻳﻀﺔ ﺍﻟﺼﻼﺓ ﻭﺣﺪﻫﺎ ﻓﻠﻤﺎ
ﻗﺪﻡ ﺍﻟﻤﺪﻳﻨﺔ ﺃﻧﺰﻝ ﺍﻟﻠﻪ ﺍﻟﺤﻼﻝ
ﻭﺍﻟﺤﺮﺍﻡ ﺇﻟﻰ ﺃﻥ ﺍﻟﺤﺞ ﻓﻠﻤﺎ ﺣﺞ
ﻭﻛﻤﻞ ﺍﻟﺪﻳﻦ ﻧﺰﻟﺖ ﻫﺬﻩ ﺍﻵﻳﺔ

8. Asbabun nuzul
ﻭﻗﺎﻝ ﻋﻤﺮ : ﻭﺍﻟﻠﻪ ﺇﻧﻲ ﻷﻋﻠﻢ ﺍﻟﻴﻮﻡ
ﺍﻟﺬﻱ ﻧﺰﻟﺖ ﻋﻠﻰ ﺭﺳﻮﻝ ﺍﻟﻠﻪ
ﻭﺍﻟﺴﺎﻋﺔ ﺍﻟﺘﻲ ﻧﺰﻟﺖ ﻓﻴﻬﺎ ﻋﻠﻰ
ﺭﺳﻮﻝ ﺍﻟﻠﻪ ﻋﻴﺸﺔ ﻋﺮﻓﺔ ﻓﻲ ﻳﻮﻡ
ﺍﻟﺠﻤﻌﺔ
ﻭﻗﺎﻝ ﺍﺑﻦ ﻋﺒﺎﺱ ﻓﺈﻧﻬﺎ ﻧﺰﻟﺖ ﻓﻲ ﻳﻮﻡ
ﻋﻴﺪﻧﺎ ﻓﻲ ﻳﻮﻡ ﺍﻟﺠﻤﻌﺔ ﻭﻳﻮﻡ ﻋﺮﻓﺔ
ﻭﻓﻲ ﺭﻭﺍﻳﺔ ﻛﺎﻥ ﻓﻲ ﺫﻟﻚ ﺍﻟﻴﻮﻡ
ﺧﻤﺴﺔ ﺃﻋﻴﺎﺩ ﻳﻮﻡ ﺍﻟﺠﻤﻌﺔ ﻭﻳﻮﻡ
ﻋﺮﻓﺔ ﻭﻋﻴﺪ ﻟﻠﻴﻬﻮﺩ ﻭﻋﻴﺪ ﻟﻠﻨﺼﺎﺭﻯ
ﻭﻋﻴﺪ ﻟﻠﻤﺠﻮﺱ ﻭﻟﻢ ﺗﺠﺘﻤﻊ ﺃﻋﻴﺎﺩ
ﻷﻫﻞ ﺍﻟﻤﻠﻞ ﻓﻲ ﻳﻮﻡ ﻭﺍﺣﺪ ﻗﺒﻠﻪ ﻭﻻ
ﺑﻌﺪﻩ

9. Ilmu hadist
ﻋﻦ ﻋﻨﺘﺮﺓ ﺃﻥ ﻋﻤﺮ ﻟﻤﺎ ﻧﺰﻟﺖ ﺍﻵﻳﺔ
ﺑﻜﻰ ﻓﻘﺎﻝ ﻟﻪ ﺍﻟﻨﺒﻲ ﺻﻠﻰ ﺍﻟﻠﻪ ﻋﻠﻴﻪ
ﻭﺳﻠﻢ ﻣﺎ ﻳﺒﻜﻴﻚ؟ ﻗﺎﻝ ﺃﺑﻜﺎﻧﻲ ﺃﻧﺎ ﻛﻨﺎ
ﻓﻲ ﺯﻳﺎﺩﺓ ﻣﻦ ﺩﻳﻨﻨﺎ ﻓﺄﻣﺎ ﺇﺫﺍ ﻛﻤﻞ
ﻓﺈﻧﻪ ﻟﻢ ﻳﻜﻤﻞ ﺷﻲﺀ ﻗﻂ ﺇﻻ ﻧﻘﺺ
ﻓﻘﺎﻝ ﺭﺳﻮﻝ ﺍﻟﻠﻪ ﺻﻠﻰ ﺍﻟﻠﻪ ﻭﺳﻠﻢ
ﺻﺪﻗﺖ

10. Ilmu fiqh
11. Ilmu ushul fiqh
ﻭﻻ ﻳﺤﺘﺞ ﺑﻬﺎ ﻋﻠﻰ ﻫﺬﺍ ﺍﻟﻘﻮﻝ ﻋﻠﻰ
ﺇﺑﻄﺎﻝ ﺍﻟﻘﻴﺎﺱ ﻭﺍﻹﺟﺘﻬﺎﺩ ﻓﻲ ﺍﻟﺨﻴﺮ

12. Ilmu nasikh mansukh
ﺗﺪﻝ ﻫﺬﻩ ﺍﻵﻳﺔ ﻋﻠﻰ ﺃﻥ ﺍﻹﺳﻼﻡ
ﻳﻨﺴﺦ ﻛﻞ ﺍﻷﺩﻳﺎﻥ ﻭﺍﻟﻤﻠﻞ

13. Ilmu qiraat
ﺟﻤﻬﻮﺭ ﺍﻟﻘﺮﺍﺀ ﺍﻟﺴﺒﻌﺔ ﻳﻘﺮﺅﻭﻥ
ﺑﻘﺮﺍﺀﺓ ﻭﺍﺣﺪﺓ ﺍﺗﻔﺎﻗﺎ

14. Ilmu aqa'id
ﺍﻋﻠﻢ ﺃﻥ ﺇﻛﻤﺎﻝ ﺍﻹﺳﻼﻡ ﻭﺇﺗﻤﺎﻡ
ﺍﻹﻧﻌﺎﻡ ﻭﺭﺿﺎ ﺍﻹﺳﻼﻡ ﺗﻜﻮﻥ ﻓﻲ
ﺯﻣﺎﻥ ﺍﻷﺯﺍﻟﻲ ﻭﻻ ﻳﺘﻘﻴﺪ ﺑﺬﺍﻟﻚ ﺍﻟﻴﻮﻡ
ﺃﻱ ﻳﻮﻡ ﻋﺮﻓﺔ

Kesimpulan nya
ﺍﻟﻴﻮﻡ ﺃﻛﻤﻠﺖ ﻟﻜﻢ ﺩﻳﻨﻜﻢ ﻭﺃﺗﻤﻤﺖ
ﻋﻠﻴﻜﻢ ﻧﻌﻤﺘﻲ ﻭﺭﺿﻴﺖ ﻟﻜﻢ
ﺍﻹﺳﻼﻡ ﺩﻳﻨﺎ
Pada hari ini ( berbetulan hari
jumat, hari arafah, hari raya
yahudi, hari raya nashrani dan
hari raya majusi
( ayat ini turun juga bertepatan hari
rayanya orang kafir lo, apakah
ini termasuk menyerupai dengan
orang kafir? Hehe...kalau saja
wahabi ada pada zaman
nabi, bisa-bisa nabi di katain
nyerupai orang kafir )
Telah aku sempurnakan
Untuk kamu
Akan hukum hukum agama
kamu, dari halal dan haram, dan
kefardhuan yang di fardhukan, dari
sholat, puasa, haji dan zakat
( hukum-hukum yang sudah qot'i dan
pekerjaan yang wajib lah yang
tidak bisa dtambah maupun
dikurangi )
Ada juga qaul mengatakan yang
sempurna itu memang agama
islam, jadi barangsiapa
memeluk agama yang selain
islam, maka dia ditolak dengan
dalil
ﻭﻣﻦ ﻳﺒﺘﻎ ﻏﻴﺮ ﺍﻹﺳﻼﻡ ﺩﻳﻨﺎ ﻓﻠﻦ
ﻳﻘﺒﻞ ﻣﻨﻪ
Atau dia menambah agama
islam dengan agama lain,
( masalah zhoraf PADA HARI
INI disni adalah secara
majaz, bukan haqiqat, karena
sejak zaman azali agama
islam ini sudah sempurna sebelum
lahirnya Rasul bahkan sebelum
nabi adam, ini pada masalah tanjizi
dan shuluhi qadim dan
haadist, ada juga yang
mengatakan bahwa
kesempurnaan islam memang
terjadi pada hari itu )
Dan ( athof kepada akmaltu ) aku
sempurnakan juga nikmat
ku,dengan bisa menguasai
kota mekah dan zhohirnya
islam ( pada hari itu islam zhohir
cuma dibeberapa negara, tapi pada
hari setelahnya islam akan lebih
zhohir lagi )
Dan aku ridhoi islam itu
sebagai agama kamu ( waw
dsini tidak athof kepada
akmaltu, karena jikalau athof
kepada akmaltu yang berzhoraf krpada
ALYAUMA,
maka makna
akan rusak, karena Allah
meridhoi agama islam ini
mulai sejak zaman azali
( tanjizi dan shuluhi ) mulai
waktu zaman alam dciptakan,
Bukan pada hari itu saja Allah
ridhoi agama ini,

Natijahnya
Ayat ini tidak membatalkan
bolehnya kita berijtihad dan
qiyas ( menurut imam-imam tafsir )

Adapun qaul imam malik
tentang ayat ini yg
menghubungkan larangan
bid'ah,itu sudah ditafsirkan
oleh murid beliau imam
syafi'i,yg mengatakan
Bid'ah hasanah yg sesuai
syariat
Bid'ah dholalah yg menyalahi
syariat

Karena maksud ayat di atas
adalah kesempurnaan itu pada
hukum-hukum halal dan haram, dan
yang wajib-wajib saja
maka terkeluar hukum-hukum yang
dsunatkan dalam agama ( karena
amal sunnat/mandub/
mustahab itu luas sedangkan
amal-amal yang wajib dan
larangan yg haram itu sudah
qot'i tidak bisa dtambah atau
dkurngi),
dan juga terkeluar hukum-hukum dalam
masalah ijtihad dan qiyas,

Dgn dalil
ﻣﻦ ﺳﻦ ﻓﻲ ﺍﻹﺳﻼﻡ ﺳﻨﺔ ﺣﺴﻨﺔ
ﻓﻠﻪ ﺃﺟﺮﻫﺎ ﻭﺃﺟﺮ ﻣﻦ ﻋﻤﻞ ﺑﻬﺎ ﻣﻦ
ﺑﻌﺪﻩ ﻣﻦ ﻏﻴﺮ ﺃﻥ ﻳﻨﻘﺺ ﻣﻦ
ﺃﺟﻮﺭﻫﻢ ﺷﻴﺊ
ﻭﻣﻦ ﺳﻦ ﻓﻲ ﺍﻹﺳﻼﻡ ﺳﻨﺔ ﺳﻴﺌﺔ
ﻛﺎﻥ ﻋﻠﻴﻪ ﻭﺯﺭﻫﺎ ﻭﻭﺯﺭ ﻣﻦ ﻋﻤﻞ ﺑﻬﺎ
ﻣﻦ ﺑﻌﺪﻩ ﻣﻦ ﻏﻴﺮ ﺃﻥ ﻳﻨﻘﺺ ﻣﻦ
ﺃﻭﺯﺍﺭﻫﻢ ﺷﻴﺊ

Dan perlu di ingat !!!!!
YANG NAMANYA SEMPURNA
ITU TIDAK ADA BATAS NYA
DAN TIDAK ADA UKURAN NYA
Read more......

Siapakah ahli bid'ah yang di maksud Rasulullah itu sesat?

ورقة بن نوفل : لم يأت رجل قط بمثل ما جئت به إلا عودي
Dengan memegang perkataan waraqah bin naufal ini, saya menulis suatu kebenaran, dan tidak ada seorang laki-laki manapun yang datang membawa kebenaran kecuali ia dmusuhi dan dicela, jadi jika bnyak celaan dengan tulisan asli dari saya dibawah ini ( bukan copasan ) maka sudah da'bu atau adat orang yang membawa kebenaran dibenci oleh para ahli bid'ah dan ahli sesat sebnrnya
بسم الله الرحمن الرحيم
Siapakah ahli bid'ah yang di maksud rasulullah itu sesat ?
Ciri ciri mereka :
(A). Membagi tauhid menjadi 3, sepertinya ada 3 Allah dalam i'tiqad mereka
1. Ada Allah pemelihara, pencipta mereka
2.  Ada juga Allah tuhan mereka
3. Ada Allah yang punya nama dan sifat-sifatnya
( sedangkan i'tiqad kami ahlussunnah wal jama'ah adalah Allah hanya satu pada uluhiyah, rububiah, asma dan sifatnya, tidak ada perbedaan )
Dan Mereka menyalahi ayat
قل هو الله أحد
(B). Mereka meyakini dengan hakiki bahwa zat Allah punya tempat di atas arsy
( sedangkan i'tiqod ulama salaf adalah menyerahkan makna ayat-ayat mutasyabihat kapada Allah, tanpa takwil, tanpa takyif dan tanpa ta'thil, mereka percaya Allah ada, tapi mereka tidak mengatakan Allah bertempat tinggal di arsy )
Sedangkan ulama yang mentakwil ayat mutasyabih terbagi 2, ada yang mentakwil dengan istila yang membersihkan zat Allah dari kesamaan dengan makhluqNya, inilah yang selamat.
Ada juga mentakwil dengan istiqra ( bertempat ) ini sama sekali ditolak, karena menyamakan Allah dengan makhluqNya,
Catatan : Adapun hadist yang datang dari ibnu abbas tentang takwil beliau istiqra, ini sanadnya dhoif, ulama-ulama mufassirin brkata : Seandainya sanadnya memang ittishol, maka itu pun perlu takwil dari murid ibnu abbasnya dan terus kebawah
Mereka menyalahi ayat
ليس كمثله شيئ وهو السميع البصير
(D) . Mereka membenci orang-orang yang membca tahlil, membenci orang-orang yang membaca sholawat dan membenci orang-orang yang selalu mengingat mati ( ahli ziarah kubur )
( ahlussunnah wal jamaah adalah bersatu padu dalam membaca tahlil, sholawat, dan slalu ziarah kubur, khususnya kubur-kubur para nabi )
Mereka menyalahi ayat
ياأيها الذين آمنوا صلوا عليه وسلموا تسليما
Dan hadist
كنت نهيتكم عن زيارة القبر فزوروها
فمن أراد أن يزور القبور فليزر فإنها تذكرنا بالآخرة
أفضل ذكري فاعلم أنه لاإله إلا الله
(E). Mereka membenci para pembawa ilmu Rasulullah yang memang punya sanad dan juga mereka membenci turunan Rasulullah ( para habaib )
Mereka menyalahi ayat
قل لا أسألكم عليه أجرا إلا المودة في القربى

(F). Mereka adalah para ashhabur ra'yi , yaitu memaham alquran dan hadist, juga qaul ulama salaf cuma sampai tenggorokan aja, cuma terjemahan saja , tanpa memakai ilmu :
1. Nahwu
2. Shoraf,
3. Mantiq
4. Balagah
5. Ushul tafsir yang mencakup asbab nuzul
6. Ushul hadis yang mencakup asbab wurud
7. Tanpa guru yang bersanad muttashil
Mereka menyalahi hadist
من فسر القرآن برأيه فليتبوأ مقعده من النار
من كذب علي فليتبوأ مقعده من النار
(G). Mereka mengaku paling melaksanakan sunnah, tapi pengakuan mereka cuma sampai di mulut dan kelakuan, tapi tidak sampai ke hati, disebabkan mereka tidak belajar ilmu kebersihan hati alias ilmu tasawuf, lalu hati mereka kotor, suka ngurusin amal orang lain, suka mencela orang yang tidak sealiran dengan mereka
Padahal mereka tidak tahu banyak tentang sunnah nabi apa lagi mereka bukan ahli alquran

Ini lah ahli bid'ah yang sebenarnya

by ala kulli haal
Read more......

TAUHID RUBUBIYAH YANG BATHIL DIBUAT SALAFY

ALLAH BERFIRMAN: Katakanlah: Kepunyaan siapakah bumi ini, dan semua yang ada padanya, jika kamu mengetahui? Mereka akan menjawab: “Kepunyaan Allah.”Katakanlah: “Maka apakah kamu tidak ingat?Katakanlah: Siapakah Yang Empunya langit yang tujuh dan Yang Empunya `Arsy yang besar? Mereka akan menjawab: Kepunyaan Allah.Katakanlah: Maka apakah kamu tidak bertakwa? Katakanlah: Siapakah yang di tangan-Nya berada kekuasaan atas segala sesuatu sedang Dia melindungi, tetapi tidak ada yang dapat dilindungi dari (azab) -Nya, jika kamu mengetahui? Mereka akan menjawab: Kepunyaan Allah. Katakanlah: (Kalau demikian), maka dari jalan manakah kamu ditipu? [QS. Al-Mu-minun: 84-89]

  Sebagian orang menganggap bahwa ayat-ayat ini tengah memberitahukan bahwa orang-orang non-Muslim juga mengakui Rububiyah Allah. Mereka berpendapat bahwa orang komunis, orang atheis, orang Kristen, orang Hindu, orang Budha, orang Yahudi,dan yang lainnya itu mengakui bahwa Allah adalah Pencipta semesta alam.

  Sungguh, ini adalah aqidah yang bathil. Ayat-ayat tersebut justeru memberitahukan kepada kita bahwa kalau pun mereka berkata seperti itu, sesungguhnya pengakuan mereka itu adalah
pengakuan dusta. Sebenarnya Kami telah membawa kebenaran kepada mereka, dan sesungguhnya mereka benar-benar orang-orang yang berdusta. [QS. Al-Mu- minun: 90] 
Perhatikan bagaimana Allah membantah pengakuan mereka itu. Mereka ditanya,Kepunyaan siapakah bumi ini, dan semua yang ada padanya, jika kamu mengetahui? Kalau pun mereka berkata,“Kepunyaan Allah.” Maka itu adalah pernyataan mereka yang dusta. Allah membantah mereka. Jika benar mereka mengakui bahwa bumi dan semua yang ada padanya itu adalah kepunyaan Allah, lalu mengapa mereka tidak beribadah kepada Allah dengan mengesakan-Nya? Mereka ditanya, “Siapakah Yang Empunya langit yang tujuh dan Yang Empunya `Arsy yang besar?” Kalau pun mereka menjawab, “Kepunyaan Allah.” Maka itu adalah pernyataan bohong. Jika mereka memang mengakui bahwa Allah adalah Rabb langit dan Rabb arsy yang agung, lalu mengapa mereka tidak takut kepada hukuman dan siksa Allah dengan cara menyembah-Nya dan mengesakan-Nya? Mengapa mereka malah menyembah yang lain atau menyekutukan-Nya? Mereka ditanya, Siapakah yang di tangan-Nya berada kekuasaan atas segala sesuatu sedang Dia melindungi, tetapi tidak ada yang dapat dilindungi dari (azab) -Nya, jika kamu mengetahui? Kalau pun mereka menjawab,“Kepunyaan Allah.” Maka pernyataan mereka itu adalah pernyataan yang sia-sia. Jika mereka mengetahui bahwa Allah Mahakuasa lagi Maha melindungi, lalu mengapa mereka tidak mengesakan Allah? Mereka bertingkah seperti orang yang kena sihir sehingga mereka lupa bahwa hanya kepada Allah Yang Mahakuasa hendaknya mereka menyembah. Sesungguhnya mereka benar-benar orang-orang yang berdusta.
  Maka rusaklah aqidah yang mengatakan bahwa orang Kristen, orang Hindu, orang Budha, orang Yahudi, dan yang lainnya itu mengakui rububiyah Allah. barangsiapa masih membela aqidah semacam ini,hendaklah dia memperhatikan ayat-ayat berikut:
 Dan mereka berkata: “Kehidupan ini tidak lain hanyalah kehidupan di dunia saja, kita mati dan kita hidup dan tidak ada yang membinasakan kita selain masa”, dan mereka sekali-kali tidak mempunyai pengetahuan tentang itu, mereka tidak lain hanyalah menduga-duga saja. [Al-Jaatsiyah: 24]
 Ayat di atas menjelaskan bagaimana pandangan orang atheis dan orang Budha. Akankah kita mendustakan ayat Allah tersebut? 
  Sesungguhnya telah kafirlah orang-orang yang berkata: “Sesungguhnya Allah itu ialah Al Masih putera Maryam”.Katakanlah: “Maka siapakah (gerangan) yang dapat menghalang-halangi kehendak Allah, jika Dia hendak membinasakan Al Masih putera Maryam itu beserta ibunya dan seluruh orang-orang yang berada di bumi semuanya? Kepunyaan Allah-lah kerajaan langit dan bumi dan apa yang di antara keduanya; Dia menciptakan apa yang dikehendaki-Nya. Dan Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu. [QS. Al-Maaidah: 17]
 Ayat di atas menjelaskan bahwa orang Kristen itu adalah orang yang mengingkari Rububiyah Allah karena mereka telah mengangkat Nabi Isa Al-Masih sebagai Rabb (Lord) dan Ilah (God). Doktrin Kristen menyatakan bahwa pencipta alam semesta adalah Tuhan Tritunggal, bukan Allah Yang Mahaesa. Akankah kita mendustakan ayat Allah ini dengan berkata bahwa orang Kristen mengakui rububiyah Allah???
Orang-orang Yahudi berkata:“Uzair itu putera Allah” dan orang Nasrani berkata: Al Masih itu putera Allah. Demikian itulah ucapan mereka dengan mulut mereka, mereka meniru perkataan orang-orang kafir yang terdahulu. Dila`nati Allah-lah mereka; bagaimana mereka sampai berpaling? [QS. At-Taubah: 30]
  Dan lihatlah bagaimana Yahudi telah berpandangan bahwa Allah itu mempunyai jisim (tajsim) dan menyifati Allah dengan sifat-sifat yang sama dengan manusia (tasybih) seperti berjalan-jalan,beristirahat, dsb. Maka rusaklah aqidah mereka yang berpandangan bahwa Allah itu turun, duduk, mempunyai tangan, dsb. Sungguh aqidah seperti itu sangatlah mirip dengan aqidah Yahudi dan Nashrani. Maka bertaubatlah dari aqidah aqidah rusak semacam ini.
 Sebagian orang berkata bahwa Allah duduk tetapi tidak seperti duduknya manusia. Kata-kata 'tetapi tidak seperti duduknya manusia' hanyalah alasan agar tidak dianggap tasybih. Padahal masalah keserupaan yang dimaksud bukan terletak kepada caranya, melainkan pada sifatnya. Ketika seseorang berkata bahwa Allah itu duduk secara harfiah, maka dia telah tasybih atau menyerupakan sifat Allah dengan sifat manusia tidak peduli apakah cara duduk-Nya sama dengan cara duduk manusia atau berbeda. Ketika membaca ayat bahwa Allah Istiwa di atas arsy, ada dua cara yang dapat dipilih, yaitu beriman bahwa ayat tersebut memang benar firman Allah namun menolak untuk menafsirkan ma’na istiwa dengan alasan bahwa hanya Allah yang mengetahui dengan pasti ma’nanya; atau dia beriman bahwa ayat tersebut memang benar firman Allah dan mena’wilkan ma’na istiwa dengan cara ta’wil yang benar namun tetap mengatakan bahwa hanya Allah yang mengetahui dengan pasti ma’nanya.  Bagaimana pun, ayat-ayat semacam itu bukanlah ayat muhkamat yang tegas dan terang maksudnya, tetapi ayat mutasyabihat yang mengandung beberapa pengertian dan tidak dapat ditentukan arti mana yang dimaksud kecuali setelah diselidiki secara mendalam.



  Bertaubatlah dari aqidah tajsim dan tasybih. Bertaubatlah dari aqidah yang mengatakan bahwa orang non-Muslim itu mengakui rububiyah Allah.
Read more......

Senin, 13 Februari 2012

Dialog Terbuka di Balikpapan, Wahabi Mati Kutu Tak Berkutik

dialog terbuka
Pimpinan Cabang Nahdlatul Ulam (PCNU) Kota Balikpapan, Sabtu (17/12/2011) melantik pengurus ranting NU se-Kota Balikpapan, bertempat di Auditorium PT. Kilang Mandiri. Sehingga saat ini PCNU Balikpapan memiliki 5 MWC dan 27 Ranting.

Pelantikan yang dikemas dengan seminar tentang internalisasi Ahlussunnah Wal Jama’ah itu diikuti oleh 300 orang pengurus NU se-Balikpapan, mulai dari tingkat cabang hingga tingkat ranting.

Pada kesempatan itu, hadir sebagai pembicara Ustadz Muhammad Idrus Ramli, salah satu anggota Tim Kaderisasi ASWAJA PWNU Jawa Timur. Dalam seminar tersebut, Ustadz Idrus Ramli memaparkan tentang makna dan hakikat Ahlussunnah Wal Jama’ah berdasarkan al-Qur’an, hadits dan pemahaman para ulama yang mu’tabar.

Kegiatan ini sebagai salah satu langkah untuk membendung gerakan Wahabisasi yang semakin marak di Kota Balikpapan. Selama ini Balikpapan pusat gerakan aliran Wahabi. Dengan demikian, dibawah kepemimpinan KH. Abbas Alfas, PCNU Kota Balikpapan melakukan langkah-langkah strategis. Terutama penataan organisasi yang selama ini vakum.

Untuk memberikan pemantapan terhadap warga Nahdliyyin di Balikpapan, PCNU juga menggelar dialog terbuka antara Ustadz Muhammad Idrus Ramli dengan Ustadz Adzro’I Abdusysyukur seorang tokoh Wahabi. Dialog yang dikemas dalam acara bedah buku “Kiai NU atau Wahabi Yang Sesat Tanpa Sedar? Jawaban Terhadap Buku-Buku Mahrus Ali”, yang ditulis oleh Ustadz Muhammad Idrus Ramli bersama Habib Muhammad Syafiq Al-Idrus, itu digelar di Masjid Agung At-Taqwa, Balikpapan dengan diikuti oleh sekitar 1000 orang lebih.

Selama ini Ustadz Adzro’i dalam ceramahnya di berbagai tempat dan melalui radio tidak pernah berhenti membid’ahkan dan mensyirikkan warga nahdliyyin yang melakukan istighatsah dan tawassul. Tak ayal, warga nahdliyyin Balikpapan sangat menunggu kehadirannya dalam acara dialog tersebut. Sehingga ketika Ustadz Adzro’i diketahui kehadirannya, suasana menjadi tegang. Para peserta menunggu apa yang akan dibicarakan oleh kedua pembicara berbeda aliran itu.

Ustadz Idrus Ramli diberi waktu untuk mengawali dialog dengan memaparkan hakikat istighatsah dan tawassul beserta dalil-dalilnya dari hadits-hadits shahih dan amaliah para sahabat. Usai Ustadz Idrus, moderator memberi kesempatan dan meminta Ustadz Adzro’i untuk memberikan tanggapannya.

Namun, jawaban Adzro’i ternyata tidak memuaskan. Ia justru mengaku tidak memusyrikkan orang yang melakukan istighatsah dan tawassul, karena dasarnya sangat kuat sebagaiman dipaparkan oleh Ustadz Idrus di awal. Jawaban tersebut membuat para peserta yang hadir tertawa dan bersorak sorai, karena selama ini memang warga Balikpapan sering mendengar sendiri pernyataan Adzro’i yang memusyrikkan istighatsah. Tetapi dalam dialog tersebut, Adzro’i justru tidak mengakuinya.

Kemudian moderator meminta tanggapan Adzro’i tentang ziarah umat islam ke makam para auliya’, apakah syirik atau tidak. Ternyata Adzro’i menjawab secara diplomatis, bahwa ziarah kubur dapat mengingatkan kita pada kematian, sehingga dibolehkan. Akhirnya Ustadz Idrus Ramli memaparkan ziarah kubur dalam berbagai aspeknya beserta dalil-dalilnya. Setelah Ustadz Idrus memaparkan hal ini secara detail beserta dalil-dalilnya, Ustadz Adzro’i segera meninggalkan acara dan berpamitan tidak bisa melanjutkan dialog dengan alasan ada acara lain di luar.

Melihat ulah Ustadz Adzro’i yang kabur melarikan diri setelah dirinya tidak berkutik itu, para hadirin semuanya tertawa. Selanjutnya acara dialog dilanjutkan tanpa kehadiran pembanding dari pihak Wahabi hingga selesai pukul 13.00.

(Disadur dari Majalah AULA Edisi Januari 2012, Dapatkan Majalahnya di toko / kios buku dan agen Majalah terdekat di kota Anda)
Read more......

Minggu, 05 Februari 2012

Ulama Nenek Moyang Indonesia Mengikuti Salafush Sholeh

Wali Sembilan
Oleh: Al Ustadz Al Fadhil Zon Jonggol Al Bogori

Islam Masuk ke Indonesia Sejak Abad ke 1 H

Mereka mengatakan bahwa ibadah kaum muslim di negeri kita mengikuti
nenek moyang. Apakah prasangka mereka kita mengikuti kaum Hindu atau
Buddha ? Itu sama saja mereka terhasut pencintraan yang dilakukan
kolonialisme Belanda.

Ahmad Mansur Suryanegara dalam bukunya "API SEJARAH" jilid 1 mengungkapkan.

Dengan sengaja, sejarawan Belanda pada masa pemerintah kolonial
Belanda membuat periodisasi sejarah Indonesia, memundurkan waktu
masuknya agama Islam berada jauh di belakang atau sesudah keruntuhan
kekuasaan politik Hindu atau Keradjaan Hindoe Majapahit.

Dengan berdasarkan periodisasi itu, menjadikan Islam baru dibicarakan
setelah Keradjaan Hindoe Majapahit runtuh pada 1478 M. Tidak
dijelaskan pula bahwa sejak abad ke 7 M agama Islam sudah mulai
didakwahkan ajarannya oleh para wirauswasta (pedagang) di Nusantara
Indonesia. Ditambahkan, runtuhnya Keradjaan Hindoe Madjapahit akibat
serangan dari Keradjaan Islam Demak yang dipimpin Panembahan Fatah.
Mengapa demkian ?

N.A. Baloch menjawab strategi pemerintah colonial Belanda, anti Islam
dan bermotivasi divide and rule atau pecah belah untuk dikuasai
melalui salah satunya penulisan sejarah. Oleh karena itu, dalam
penulisan sejarah Indonesia bertolak dari pandangan Hindoe Sentrisme
atau dari Neerlando Sentrisme. Lebih mengutamakan sejarah Hindu Buddha
atau sejarah Belanda di Indonesia. Islam yang dijadikan dasar gerakan
perlawanan terhadap penjajahan Protestan Belanda, dinegatifkan analis
sejarahnya.

Agama Islam telah masuk ke Nusantara jauh sebelum Radja Hindoe
melakukan konversi agama menjadi penganut Islam. Pada saat itu,
sekaligus terjadi pembentukan kekuasaan politik Islam atau kesultanan.
Istilah kerajaan berubah pula menjadi kesultanan. Tidak lagi disebut
raja melainkan sebagai sultan. Raja tersebut tidak kehilangan
kekuasaannya dan tetap diakui oleh mayoritas rakyatnya sebagai sultan
yang sah.

Peristiwa ini menurut J.C. van Leur terjadi karena political motive.
Motif politik atau motivasi kekuasaan yang diwujudkan dengan konversi
agama masuk ke Islam sebagai bukti atau pengakuan para raja saat itu
bahwa Islam telah menjadi arus bawah yang kuat dan berpengaruh besar
pada lapisan masyarakat bawah. Dampaknya membentuk pandangan para
penguasa saat itu untuk menyelamatkan diri dari bencana banjir
Imperialisme Barat kecuali dengan berpihak kepada agamanya rakyat,
yakni Islam.

Begitu pula pendapat W.J. Wertheim bahwa konversi agama memeluk agama
Islam yang dilakukan oleh kalangan boepati hingga Radja di Nusantara
Indonesia, karena pengaruh rasa tidak aman dari ancaman imperialisme
Katolik Portugis maupun imperialisme Protestan Belanda atau Inggris.

Hubungan niaga Timur Tengah, India dan Cina serta Nusantara Indonesia,
walaupun Rasulullah shallallahu alaihi wasallam telah wafat, 11H/632
M, namun hubungan niaga tetap berlangsung antara Khulafaur Rasyidin,
11-41 H / 632-661 M dengan negara-negara non muslim di luar Jazirah
Arabia termasuk dengan Nusantara Indonesia. Seperti yang disejarahkan
pada masa khalifah ketiga, Ustman bin Affan, 24-36 H/644-656 M
mengirim utusan niaga ke Cina. Kesempatan kunjungan utusan niaga ke
Cina, dimanfaatkan untuk mengadakan kontak dagang dengan wirausahawan
di Nusantara Indonesia. Keterangan sejarahnya terdapat dalam buku
Nukhbat ad-Dahr ditulis oleh Syaikh Syamsuddin Abu Ubaidillah Muhammad
bin Thalib ad Dimsyaqi yang terkenal dengan nama Syaikh Ar Rabwah,
menjelaskan bahwa wirausahawan Muslim memasuki ke kepulauan ini
(Indonesia) terjadi pada masa khalifah Utsman bin Affan, 24-36 H /
644-656 M.

Dari sumber lain, JC van Leur dalam Indonesian Trade and Society
dengan mendasarkan sumber berita Cina dari Dinasti Tang, 618-907 M
menyatakan bahwa pada 674M di pantai barat Sumater telah terdapat
settlement (hunian bangsa Arab Islam) yang menetap di sana.

Demikian pula berdasarkan keterangan Drs. Ibrahim Buchari, berdasarkan
angka tahun yang terdapat pada nisan seorang ulama, Syaikh Mukaiddin
di Baros, Tapanuli yang bertuliskan 48 Hijriah atau 670 Masehi, maka
dapat dipastikan Agama Islam masuk ke Nusantara Indonesia terjadi pada
abad ke 7 Masehi atau pada abad ke 1 Hijriyah.

Begitulah hasil pengkajian Ahmad Mansur Negara, jelaslah bahwa ulama
terdahulu kita bukanlah kaum hindu atau budha.

Begitupula kajian Tim Kajian Kesultanan Majapahit dari Lembaga Hikmah
dan Kebijakan Publik (LHKP) Pengurus Daerah Muhammadiyah Yogyakarta
untuk melakukan kajian ulang terhadap sejarah Majapahit. Setelah
sekian lama berkutat dengan beragam fakta-data arkeologis, sosiologis
dan antropolis, maka Tim kemudian menerbitkannya dalam sebuah buku
awal berjudul Kesultanan Majapahit, Fakta Sejarah Yang Tersembunyi'.

Buku ini hingga saat ini masih diterbitkan terbatas, terutama
menyongsong Muktamar Satu Abad Muhammadiyah di Yogyakarta beberapa
waktu yang lalu. Sejarah Majapahit yang dikenal selama ini di kalangan
masyarakat adalah sejarah yang disesuaikan untuk kepentingan penjajah
(Belanda) yang ingin terus bercokol di kepulauan Nusantara.

Dalam konteks Majapahit, Belanda berkepentingan untuk menguasai
Nusantara yang mayoritas penduduknya adalah muslim. Untuk itu,
diciptakanlah pemahaman bahwa Majapahit yang menjadi kebanggaan
masyarakat Indonesia adalah kerajaan Hindu dan Islam masuk ke
Nusantara belakangan dengan mendobrak tatanan yang sudah berkembang
dan ada dalam masyarakat.

Apa yang diungkapkan oleh buku ini tentu memiliki bukti berupa fakta
dan data yang selama ini tersembunyi atau sengaja disembunyikan.
Beberapa fakta dan data yang menguatkan keyakinan bahwa kerajaan
Majpahit sesungguhnya adalah kerajaan Islam. Cuplikan info silahkan
baca tulisan pada
http://misteri-us.blogspot.com/2010/11/kesultanan-majapahit-fakta-sejarah-yang.html

Semakin jelaslah bahwa ulama terdahulu kita bukanlah kaum hindu atau buddha.

Syaikh Nawawi Al Bantani
Kita, orang tua kita, kakek, buyut kita menjadi muslim merupakan
peran salah satunya adalah para Wali Songo yang merupakan Wali Allah
generasi kesembilan. Begitupula peran ulama-ulama terdahulu kita
antara lain, Syekh Muhammad bin Umar Nawawi Al-Bantani Al-Jawi, adalah
ulama Indonesia bertaraf internasional, lahir di Kampung Pesisir, Desa
Tanara, Kecamatan Tanara, Serang, Banten, 1815.

Sejak umur 15 tahun pergi ke Makkah dan tinggal di sana tepatnya
daerah Syi'ab Ali, hingga wafatnya 1897, dan dimakamkan di Ma'la.
Ketenaran beliau di Makkah membuatnya di juluki Sayyidul Ulama Hijaz
(Pemimpin Ulama Hijaz). Daerah Hijaz adalah daerah yang sejak 1925
dinamai Saudi Arabia (setelah dikudeta oleh Keluarga Saud).

Diantara ulama Indonesia yang sempat belajar ke Beliau adalah
Syaikhona Khalil Bangkalan dan Hadratusy Syekh KH Hasyim Asy'ari.
Kitab-kitab karangan beliau banyak yang diterbitkan di Mesir,
seringkali beliau hanya mengirimkan manuscriptnya dan setelah itu
tidak mempedulikan lagi bagaimana penerbit menyebarluaskan hasil
karyanya, termasuk hak cipta dan royaltinya. Selanjutnya kitab-kitab
beliau itu menjadi bagian dari kurikulum pendidikan agama di seluruh
pesantren di Indonesia, bahkan Malaysia, Filipina, Thailand, dan juga
negara-negara di Timur Tengah. Begitu produktifnya beliau dalam
menyusun kitab (semuanya dalam bahasa Arab) hingga orang menjulukinya
sebagai Imam Nawawi kedua. Imam Nawawi pertama adalah yang membuat
Syarah Shahih Muslim, Majmu' Syarhul Muhadzdzab, Riyadlush Shalihin,
dll. Namun demikian panggilan beliau adalah Syekh Nawawi bukan Imam
Nawawi.

Nihayatuz Zain
Jumlah kitab beliau yang terkenal dan banyak dipelajari ada sekitar 22
kitab. Beliau pernah membuat tafsir Al-Qur'an berjudul Mirah Labid
yang berhasil membahas dengan rinci setiap ayat suci Al-Qur'an. Buku
beliau tentang etika berumah tangga, berjudul Uqudul Lijain
(diterjemahkan ke Bahasa Indonesia) telah menjadi bacaan wajib para
mempelai yang akan segera menikah. Kitab Nihayatuz Zain sangat tuntas
membahas berbagai masalah fiqih (syariat Islam). Sebuah kitab kecil
tentang syariat Islam yang berjudul Sullam (Habib Abdullah bin Husein
bin Tahir Ba'alawi), diberinya Syarah (penjelasan rinci) dengan judul
baru Mirqatus Su'udit Tashdiq. Salah satu karya beliau dalam hal kitab
hadits adalah Tanqihul Qoul, syarah Kitab Lubabul Hadith (Imam
Suyuthi). Kitab Hadits lain yang sangat terkenal adalah Nashaihul
Ibad, yang beberapa tahun yang lalu dibahas secara bergantian oleh
Alm. KH Mudzakkir Ma'ruf dan KH Masrikhan (dari Masjid Jami Mojokerto)
dan disiarkan berbagai radio swasta di Jawa Timur. Kitab itu adalah
syarah dari kitabnya Syekh Ibnu Hajar Al-Asqalani.

Contoh ulama nenek moyang kita lainnya yang menolak paham kelompok
Wahabi yang berlandaskan pemahaman Syaikh Ibnu Taimiyah adalah Syeikh
Ahmad Khatib Al-Minangkabawi

Syeikh Ahmad Khatib Al-Minangkabawi adalah ulama besar Indonesia yang
pernah menjadi imam, khatib dan guru besar di Masjidil Haram,
sekaligus Mufti Mazhab Syafi'i pada akhir abad ke-19 dan awal abad
ke-20. Dia memiliki peranan penting di Makkah al Mukarramah dan di
sana menjadi guru para ulama Indonesia.

Nama lengkapnya adalah Ahmad Khatib bin Abdul Latif al-Minangkabawi,
lahir di Koto Gadang, IV Koto, Agam, Sumatera Barat, pada hari Senin 6
Dzulhijjah 1276 H (1860 Masehi) dan wafat di Makkah hari Senin 8
Jumadil Awal 1334 H (1916 M)

Awal berada di Makkah, ia berguru dengan beberapa ulama terkemuka di
sana seperti Sayyid Bakri Syatha, Sayyid Ahmad bin Zaini Dahlan, dan
Syekh Muhammad bin Sulaiman Hasbullah al-Makkiy.

Banyak sekali murid Syeikh Khatib yang diajarkan fiqih Syafi'i. Kelak
di kemudian hari mereka menjadi ulama-ulama besar di Indonesia,
seperti
Abdul Karim Amrullah (Haji Rasul) ayahanda dari Buya Hamka;
Syeikh Muhammad Jamil Jambek, Bukittinggi;
Syeikh Sulaiman Ar-Rasuli, Candung, Bukittinggi,
Syeikh Muhammad Jamil Jaho Padang Panjang,
Syeikh Abbas Qadhi Ladang Lawas Bukittinggi,
Syeikh Abbas Abdullah Padang Japang Suliki,
Syeikh Khatib Ali Padang,
Syeikh Ibrahim Musa Parabek,
Syeikh Mustafa Husein, Purba Baru, Mandailing, dan
Syeikh Hasan Maksum, Medan.

Tak ketinggalan pula K.H. Hasyim Asy'ari dan K.H. Ahmad Dahlan, dua
ulama yang masing-masing mendirikan organisasi Islam terbesar di
Indonesia, Nahdatul Ulama (NU) dan Muhammadiyah, merupakan murid dari
Syeikh Ahmad Khatib.

Syaikh Ahmad Khatib Al-Minangkabawi
Syeikh Ahmad Khatib adalah tiang tengah dari mazhab Syafi'i dalam
dunia Islam pada permulaan abad ke XIV. Ia juga dikenal sebagai ulama
yang sangat peduli terhadap pencerdasan umat. Imam Masjidil Haram ini
adalah ilmuan yang menguasai ilmu fiqih, sejarah, aljabar, ilmu falak,
ilmu hitung, dan ilmu ukur (geometri).

Syeikh Ahmad Khatib al-Minankabawi menyanggah beberapa pendapat Barat
tentang kedudukan bumi, bulan dan matahari, serta peredaran
planet-planet lainnya yang beliau anggap bertentangan dengan pemikiran
sains ulama-ulama Islam yang arif dalam bidang itu.

Dalam perkembangannya, pendirian ormas Nahdatul Ulama (NU) pada
hakikatnya sebagai bentuk protes terhdapap ulama di Jazirah Arab
karena pemahaman agama mereka mulai ada ketidak sesuaian dengan ajaran
agama Islam yang aslinya. Ulama-ulama NU berupaya berpegang teguh
kepada keaslian, kemurnian ajaran Islam sehingga mereka dikenal
sebagai ulama tradisional namun pada hakikatnya adalah ulama klasik
sebagaimana keaslian ajaran agama Islam.

Namun tidak kita pungkiri perlu adanya upaya penjernihan (tashfiyah),
pembersihan (tanqiyah) dari pengaruh-pengaruh diluar Islam seperti
paham Sekulerisme, Pluralisme, Liberalisme yang menuhankan kebebasan
dan paham Hedonisme yang menuhankan kesenangan. Hal ini sedikit kami
uraikan dalam tulisan pada
http://mutiarazuhud.wordpress.com/2011/04/13/2011/03/03/nu-bercerminlah/

Jadi kesimpulannya mereka yang mengaku-aku mengikuti pemahaman
Salafush Sholeh pada kenyataannya mungkin saja hanya mengikuti ulama
Muhammad bin Abdul Wahhab atau ulama Ibnu Taimiyah. Sedangkan kita
yang dituduh mengikuti nenek moyang pada kenyataannya mengikuti
Khulafaur Rasyidin lebih awal.

Untuk itulah kita harus bersyukur atas peran para ulama terdahulu
kita. Tidaklah mungkin nusantara yang luas ini mayoritas penduduknya
menjadi muslim terjadi dalam waktu sekejap.

Wassalam


Zon di Jonggol, Kab Bogor 16830

Syeikh 'Abdullah al-Siddiq al-Ghumari,
Syeikh Yasin al-Fadani,
Syeikh 'Abdul Fattah Abu Ghuddah,
Syeikh Ibrahim al-Ahsa'ie,
Syeikh Hasan Masysyat,
Syeikh Isma'il 'Uthman al-Zain..
رحمهم الله تعالى

Read more......

Anekdot( Kesesatan ) fatwa aqidah "ulama salafi" Allah Berlari-lari

Salafi mengatakan Allah disifati dengan Jogging / berlari lari
Dalam Fatawa al-Aqida Salafi 'Syaikh' Muhammad bin Salih b. Uthaimin,
halaman 112, mengatakan:

Kutipan

وأي مانع يمنع من أن نؤمن بأن الله تعالى يأتي هرولة
"Apa yang melarang kita untuk percaya bahwa Allah melakukan joging /
berlari [harwala]?"

Dan di bawah ini adalah kutipan dari Lajnatud-Da'imah`Ilmiyyah
lil-Buhuthul- wal Ifta / Komite Permanen Riset Ilmiah dan Fatwa
(Kerajaan Arab Saudi):

Kutipan
فتاوى اللجنة الدائمة للبحوث العلمية والإفتاء ج 3 ص 196:
(س: هل لله صفة الهرولة?
ج: نعم, على نحو ما جاء في الحديث القدسي الشريف على ما يليق به قال
تعالى: إذا تقرب إلي العبد شبرا تقربت إليه ذراعا وإذا تقرب إلي ذراعا
تقربت منه باعا وإذا أتاني ماشيا أتيته هرولة.رواه البخاري وسلم).


Terjemahan :

T: Apakah Jogging (Harwala) itu sifat Allah?
J: Ya, sebagaiman telah ditunjukkan dalam Al-Hadis Qudsi Shareef
.....:"... Dan jika hambaku datang kepada-Ku berjalan, aku
menghampirinya dgn berlari." Diriwayatkan oleh al-Bukhari dan Muslim


ke Link Situs KSA

Sungguh lucu :

Ternyata penisbatan sifat lari kepada Allah di bantah pula oleh ulama
salafi Shalih b. Fawzan Al-Fawzan,utk lihat jawabaan Shalih b. Fawzan
klik : meniadakan apa yang di fatwakan oleh utsaemin dan lajnah
daimah KSA

kutipan :
الهرولة ليست بصفة لله) العلامة صالح بن فوزان الفوزان - حفظه الله) -
Barlari bukanlah sifat Allah menurut al alamah Shaleh bin fauzan
Alfauzan..................!!

Sunber :singkirkankepalsuan.blogspot.com

Read more......

Hukum Menambah SAYYIDINA






Menambah kata “Sayyid” sebelum menyebut nama Nabi Muhammad adalah perkara yang dibolehkan di dalam syari’at. Karena pada kenyataannya Rasulullah adalah seorang Sayyid, bahkan beliau adalah Sayyid al-‘Alamin, penghulu dan pimpinan seluruh makhluk. Salah seorang ulama bahasa terkemuka, ar-Raghib al-Ashbahani dalam kitab Mufradat Alfazh al-Qur’an, menuliskan bahwa di antara makna “Sayyid” adalah seorang pemimpin, seorang yang membawahi perkumpulan satu kaum yang dihormati dan dimuliakan (Mu’jam Mufradat Alfazh al-Qur’an, h. 254).

Dalam al-Qur’an, Allah menyebut Nabi Yahya dengan kata “Sayyid” :
وَسَيِّدًا وَحَصُورًا وَنَبِيًّا مِنَ الصَّالِحِينَ (ءال عمران : 39)

“… menjadi pemimpin dan ikutan, menahan diri (dari hawa nafsu) dan seorang nabi termasuk keturunan orang-orang saleh”. (QS. Ali ‘Imran : 39).

Nabi Muhammad jauh lebih mulia dari pada Nabi Yahya, karena beliau adalah pimpinan seluruh para nabi dan rasul. Dengan demikian mengatakan “Sayyid” bagi Nabi Muhammad tidak hanya boleh, tapi sudah selayaknya, karena beliau lebih berhak untuk itu. Bahkan dalam sebuah hadits, Rasulullah sendiri menyebutkan bahwa dirinya adalah seorang “Sayyid”. Beliau bersabda :
أَنَا سَيِّدُ وَلَدِ ءَادَمَ يَوْمَ الْقِيَامَةِ وَلاَ فَخْرَ -(رواه الترمذي

“Saya adalah penghulu manusia di hari kiamat”. (HR. at-Tirmidzi)

Dengan demikian di dalam membaca shalawat boleh bagi kita mengucapkan “Allahumma Shalli ‘Ala Sayyidina Muhammad”, meskipun tidak ada pada lafazh-lafazh shalawat yang diajarkan oleh Nabi (ash-Shalawat al Ma’tsurah) dengan penambahan kata “Sayyid”. Karena menyusun dzikir tertentu yang tidak ma’tsur boleh selama tidak bertentangan dengan yang ma’tsur.

Sahabat ‘Umar ibn al-Khaththab dalam hadits yang diriwayatkan oleh Imam Muslim menambah lafazh talbiyah dari yang sudah diajarkan oleh Rasulullah. Lafazh talbiyah yang diajarkan oleh Nabi adalah:
لَبَّيْكَ اللّهُمَّ لَبَّيْكَ، لَبَّيْكَ لاَ شَرِيْكَ لَكَ لَبَّيْكَ، إِنَّ الْحَمْدَ وَالنِّعْمَةَ لَكَ وَالْمُلْكَ، لاَ شَرِيْكَ لَكَ

Namun kemudian sabahat Umar ibn al-Khaththab menambahkannya. Dalam bacaan beliau :
لَبَّيْكَ اللّهُمَّ لَبَّيْكَ وَسَعْدَيْكَ ، وَالْخَيْرُ فِيْ يَدَيْكَ، وَالرَّغْبَاءُ إِلَيْكَ وَالْعَمَلُ

Dalil lainnya adalah dari sahabat ‘Abdullah ibn ‘Umar bahwa beliau membuat kalimat tambahan pada Tasyahhud di dalamnya shalatnya. Kalimat Tasyahhud dalam shalat yang diajarkan Rasulullah adalah “Asyhadu An La Ilaha Illah, Wa Asyhadu Anna Muhammad Rasulullah”. Namun kemudian ‘Abdullah ibn ‘Umar menambahkan Tasyahhud pertamanya menjadi:
أَشْهَدُ أَنْ لاَ إِلهَ إِلاَّ اللهُ وَحْدَهُ لاَ شَرِيْكَ لَهُ

Tambahan kalimat “Wahdahu La Syarika Lah” sengaja diucapkan oleh beliau. Bahkan tentang ini ‘Abdullah ibn ‘Umar berkata: “Wa Ana Zidtuha…”. Artinya: “Saya sendiri yang menambahkan kalimat “Wahdahu La Syarika Lah”. (HR Abu Dawud)

Dalam sebuah hadits shahih, Imam al-Bukhari meriwayatkan dari sahabat Rifa’ah ibn Rafi’, bahwa ia (Rifa’ah ibn Rafi’) berkata : “Suatu hari kami shalat berjama’ah di belakang Rasulullah. Ketika beliau mengangkat kepala setelah ruku’ beliau membaca: “Sami’allahu Liman Hamidah”, tiba-tiba salah seorang makmum berkata :
رَبَّنَا وَلَكَ الْحَمْدُ حَمْدًا كَثِيْرًا طَيِّبًا مُبَارَكًا فِيْهِ

Setelah selesai shalat Rasulullah bertanya : “Siapakah tadi yang mengatakan kalimat-kalimat itu?”. Orang yang yang dimaksud menjawab : “Saya Wahai Rasulullah…”. Lalu Rasulullah berkata:
رَأَيْتُ بِضْعَةً وَثَلاَثِيْنَ مَلَكًا يَبْتَدِرُوْنَهَا أَيُّهُمْ يَكْتُبُهَا أَوَّلَ

“Aku melihat lebih dari tiga puluh Malaikat berlomba untuk menjadi yang pertama mencatatnya”.

Al-Imam al-Hafizh Ibn Hajar al-‘Asqalani dalam kitab Fath al-Bari, dalam menjelaskan hadits sahabat Rifa’ah ibn Rafi ini menuliskan sebagai berikut : “Hadits ini adalah dalil yang menunjukkan kepada beberapa perkara.

Pertama : Menunjukan kebolehan menyusun dzikir yang tidak ma’tsur di dalam shalat selama tidak menyalahi yang ma’tsur. Dua : Boleh mengeraskan suara dzikir selama tidak mengganggu orang lain di dekatnya. Tiga : Bahwa orang yang bersin di dalam shalat diperbolehkan baginya mengucapkan “al-Hamdulillah” tanpa adanya hukum makruh” (Fath al-Bari, j. 2, h. 287).

Dengan demikian boleh hukumnya dan tidak ada masalah sama sekali di dalam bacaan shalawat menambahkan kata “Sayyidina”, baik dibaca di luar shalat maupun di dalam shalat. Karena tambahan kata “Sayyidina” ini adalah tambahan yang sesuai dengan dasar syari’at, dan sama sekali tidak bertentangan dengannya.

Asy-Syaikh al’Allamah Ibn Hajar al-Haitami dalam kitab al-Minhaj al-Qawim, halaman 160, menuliskan sebagai berikut:
وَلاَ بَأْسَ بِزِيَادَةِ سَيِّدِنَا قَبْلَ مُحَمَّدٍ، وَخَبَرُ”لاَ تُسَيِّدُوْنِي فِيْ الصَّلاَةِ” ضَعِيْفٌ بَلْ لاَ أَصْلَ لَهُ

“Dan tidak mengapa menambahkan kata “Sayyidina” sebelum Muhammad. Sedangkan hadits yang berbunyi “La Tusyyiduni Fi ash-Shalat” adalah hadits dla’if bahkan tidak memiliki dasar (hadits maudlu/palsu)”.

Di antara hal yang menunjukan bahwa hadits “La Tusayyiduni Fi ash-Shalat” sebagai hadits palsu (Maudlu’) adalah karena di dalam hadits ini terdapat kaedah kebahasaan yang salah (al-Lahn). Artinya, terdapat kalimat yang ditinjau dari gramatika bahasa Arab adalah sesuatu yang aneh dan asing. Yaitu pada kata “Tusayyiduni”. Di dalam bahasa Arab, dasar kata “Sayyid” adalah berasal dari kata “Saada, Yasuudu”, bukan “Saada, Yasiidu”.

Dengan demikian bentuk fi’il Muta’addi (kata kerja yang membutuhkan kepada objek) dari “Saada, Yasuudu” ini adalah “Sawwada, Yusawwidu”, dan bukan “Sayyada, Yusayyidu”. Dengan demikian, -seandainya hadits di atas benar adanya-, maka bukan dengan kata “La Tasayyiduni”, tapi harus dengan kata “La Tusawwiduni”. Inilah yang dimaksud dengan al-Lahn. Sudah barang tentu Rasulullah tidak akan pernah mengucapkan al-Lahn semacam ini, karena beliau adalah seorang Arab yang sangat fasih (Afshah al-‘Arab).

Bahkan dalam pendapat sebagian ulama, mengucapkan kata “Sayyidina” di depan nama Rasulullah, baik di dalam shalat maupun di luar shalat lebih utama dari pada tidak memakainya. Karena tambahan kata tersebut termasuk penghormatan dan adab terhadap Rasulullah. Dan pendapat ini dinilai sebagai pendapat mu’tamad.

Asy-Syaikh al-‘Allamah al-Bajuri dalam kitab Hasyiah al-Bajuri, menuliskan sebagai berikut:
الأوْلَى ذِكْرُ السِّيَادَةِ لأَنّ الأفْضَلَ سُلُوْكُ الأدَبِ، خِلاَفًا لِمَنْ قَالَ الأوْلَى تَرْكُ السّيَادَةِ إقْتِصَارًا عَلَى الوَارِدِ، وَالمُعْتَمَدُ الأوَّلُ، وَحَدِيْثُ لاَ تُسَوِّدُوْنِي فِي صَلاتِكُمْ بِالوَاوِ لاَ بِاليَاءِ بَاطِلٌ

“Yang lebih utama adalah mengucapkan kata “Sayyid”, karena yang lebih afdlal adalah menjalankan adab. Hal ini berbeda dengan pendapat orang yang mengatakan bahwa lebih utama meninggalkan kata “Sayyid” dengan alasan mencukupkan di atas yang warid saja. Dan pendapat mu’tamad adalah pendapat yang pertama. Adapun hadits “La Tusawwiduni Fi Shalatikum”, yang seharusnya dengan “waw” (Tusawwiduni) bukan dengan “ya” (Tusayyiduni) adalah hadits yang batil” (Hasyiah al-Bajuri, j. 1, h. 156). *** (Catatan Aqidah Ahlussunnah / Nahdhiyin-Online)
Read more......